Anies Baswedan: Saya Percaya Presiden Akan Netral

Dalam kunjungan Anies ke kantor Tempo, Ia didampingi antara lain Sandiaga Uno, yang ikut menjawab beberapa pertanyaan.

Anies Rasyid Baswedan semestinya terbang ke New York untuk berbicara dalam Konferensi Pendidikan Global pada pekan ketiga September lalu. Namun virus yang membuatnya dirawat di rumah sakit membatalkan perjalanan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Pada hari-hari Anies dirawat itulah petinggi sejumlah partai politik yang sedang mencari calon gubernur Jakarta penantang Basuki Tjahaja Purnama mendatanginya. Namanya lalu dibawa ke lobi-lobi antarpartai politik. Tapi, pada akhirnya, Anies dipasangkan dengan Sandiaga Salahudin Uno oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera-dua partai yang berbeda kubu dengannya pada pemilihan presiden 2014.

Kurang dari dua bulan setelah diberhentikan dari kabinet Presiden Joko Widodo, Anies pun resmi menjadi calon gubernur. Cucu Menteri Muda Penerangan jaman revolusi, A.R. Baswedan, ini rajin mendatangi permukiman-permukiman padat di Ibukota. Jadwalnya ketat untuk berceramah di berbagai masjid. Kali lain, ia bertemu dengan seniman seperti Eros Djarot.

Pendiri Gerakan Indonesia Mengajar berusia 47 tahun ini berkunjung ke kantor Tempo pada Rabu pekan lalu. Ia didampingi antara lain Sandiaga Uno, yang ikut menjawab beberapa pertanyaan. Sepekan sebelumnya, calon gubernur Agus Harimurti Yudhoyono juga hadir ke Tempo dan memberikan wawancara.

 

Kenapa Anda mau didukung PKS dan Gerindra?

Ini pilkada. Kita se-Jakarta ini sedang mencari gubernur untuk satu periode. Dan yang boleh mencalonkan itu hanya partai politik. Dalam hal ini, Gerindra dan PKS mengundang saya menjadi calon. Agak berbeda jika saya keluar dari kementerian, lalu menawarkan diri atau mencari pencalonan di partai. Saya justru warga negara yang dicalonkan dua partai ini.

 

Bukankah pada pemilihan presiden 2014 Anda pada posisi yang berbeda?

Pemilihan presiden sudah selesai Pemerintahan sudah berjalan, jadi polarisasi itu semestinya sudah selesai. Jadi ketika partai ini mengundang, saya katakan siap dicalonkan menjadi pasangan bersama Sandi.

 

Anda tidak bermasalah dicalonkan pihak yang pernah berseberangan?

Saya dan Sandi dulu berseberangan. Dia juru bicara Prabowo, saya Jokowi. Kita ini terlalu lama berada dalam kubu berbasis identitas yang enggak bisa gonta-ganti. Bangsa kita masih kaget-kaget melihat ada yang bisa berbeda dan bisa sama. Lah, kalau kita lihat pemimpin awal Republik, apa enggak juga begitu? Memangnya koalisinya terus-menerus? Enggak tuh. Koalisinya bisa PSI dengan Masyumi. Nanti berubah jadi PSl dengan PNl.

Yang terjadi sekarang justru awal pesan untuk Jakarta. Jakarta sudah terkotak-kotakkan terlalu lama. Kita ingin Jakarta yang warganya bisa dijangkau gubernur. Gubernurnya bisa menjangkau dan berbicara dengan siapa saja. Belum tentu sama, tapi bisa berdialog terbuka.

Ini juga pesan bahwa kami berdua berencana membangun Jakarta dengan dialog dan berkomunikasi dengan siapa saja. Gubernur harus bisa, suka tidak suka, bekerjasama dengan DPRD. Harus bisa bekerjasama dengan dewan kota dan lainnya.

 

Pembicaraan sebelum pencalonan Anda seperti apa?

Sebetulnya yang paling tahu proses Sandi, karena dia ada di dalam. Saya awalnya diundang Partai Persatuan Pembangunan, lalu Partai Amanat Nasional. Mereka menanyakan apakah saya bersedia ikut dipertimbangkan. Di situ saya berunding dengan keluarga dan memutuskan bersedia. Jadi yang membawa nama saya dalam pembicaraan partai adalah PPP.

 

Dibicarakan dimana?

Saya ketemu dengan Romahurmuziy dan Pak Zulkifli Hasan, Kemudian nama saya dibicarakan di Cikeas. Pada waktu itu kelihatannya berharap bisa mendapatkan satu pasangan calon. Hari Rabu malam di Cikeas ada pembicaraan. Saya juga tidak di sana. Saya hanya mendengar cerita dari yang hadir. Sempat mengerucut satu nama. Ketika membicarakan wakil, ada perbedaan, sehingga tak ada kesepakatan.

 

Kenapa akhirnya keputusannya berbeda?

Paginya, PPP berbicara dengan Sandi dan Gerindra. Mereka membicarakan kemungkinan PPP, Gerindra, PKS, dan PAN jadi satu. Nama saya dibicarakan di sana. Malamnya, PPP kembali ke Cikeas. Rupanya, "barang" yang dibawanya masih ketinggalan di Gerindra dan PKS. Tapi, hingga jumat malam kami menunggu PPP, dengan asumsi koalisinya PKS, Gerindra, dan PPP, ternyata mereka tidak kembali lagi. (Tertawa.) Akhirnya, Gerindra dan PKS harus memutuskan.

 

Anda yakin Gerindra dan PKS memberikan dukungan penuh?

Tidak pernah sedikit pun saya merasakan ada ketidaknyamanan atau ekspresi keengganan untuk bekerja. Yang kelihatan adalah ketaatan kepada keputusan. Saya tahu persis jni bukan sesuatu yang mudah bagi PKS dan Gerindra. Sandi mengerjakan satu proses politik yang bisa dibilang a mission impossible. Bagaimana dia meyakinkan sesuatu yang sangat berseberangan. Nah, perjalanan dua minggu ini all out tuh. Rapat-rapat, kerja, penggalangan, kerja lapangan. Saya merasa mereka all out. Yang diomongin sekarang tentang jakarta.

 

Bisa diceritakan pembicaraan Anda dengan Prabowo, malam sebelum pencalonan Anda diumumkan?

Prabowo bilang, "Saya ini pernah bertempur dengan GAM. Begitu selesai, ya sudah,semuanya lewat." Selama ini, kalau kita berbeda, pada enggak mau salaman. Ketemu pun sulit. Yang dikerjakan Gerindra dan PKS itu mengajak orang yang, tidak hanya bukan kader, bahkan pemah berseberangan.

 

Benarkah Anda diminta minta maaf secara tertulis?

Tidak.

 

Atau diminta meneken kontrak politik bahwa pada 2019 Anda tidak maju sebagai calon presiden?

Memang, kami berdua menyepakati komitmen lima tahun di Jakarta. Tapi enggak ada komitmen soal pemilihan presiden. Komitmennya, kami menunaikan tugas lima tahun.

 

Hitam di atas putih?

Ada dokumen, tapi sama sekali tidak terkait dengan pemilihan presiden.

 

Bagaimana Anda menjelaskan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Prabowo pada masa silam?

Saya mau lebih banyak bicara pilkada. Yang mendukung saya punya track record, semua punya track record. Kalau saya mau bicara track record masing-masing, ya, saya bahas semua orang. Kita membicarakan semesta dunia. Bukankah yang harus dibandingkan pasangan calonnya?

 

Kalau pertanyaannya diubah: orang yang punya problem hak asasi manusia akan mengganggu Anda dalam pemilihan kepala daerah ini?

Saya melihat begini: selama yang hendak kami kerjakan di Jakarta itu sesuatu yang baik, ada banyak lapisan masalah di belakang kita. Sebagian bisa kita kerjakan dan sebagian lain tidak. Di forum yang berbeda, kita bisa berbicara tentang hal itu. Kalau enggak, semua hal akan dibicarakan. Sama juga track record soal DPR kemarin.

 

Maksudnya Skandal "Papa Minta Saham" yang kini ada di pihak inkumben?

Banyak masaIah di Indonesia. Kalau kita telusuri, pasti selalu ada catatan.

 

Bagaimana dengan para "ulama garis keras" yang bertentangan dengan prinsip pluralisme yang selama ini Anda pegang....

Saya ketemu dengan banyak orang. Tapi, kalau ketemu dengan Mas Eros Djarot fotonya enggak digoyang sama para pendukung Ahok. Kalau ketemu dengan Forum Pemred, enggak disebar. Padahal saya ketemu semuanya lho. Tapi fotonya enggak disebar. Hanya ketika ketemu dengan warga negara, yang memiliki hak yang sama di kota ini, ketika mereka mengundang, saya terima undangannya. Enggak mungkin juga, setelah undangan, saya bilang: tolong jangan foto, ya.

Saya ketemu dengan yang keras, lunak, sekuler, Kristen, Islam, tapi karena ini proses pilkada, selalu saja bisa digoreng. Bertemu kan bukan berarti sama. Justru Jakarta itu membutuhkan dialog, bicara, yang belum tentu menghasilkan kesepakatan. Nah? saya insya Allah, dari zaman kuliah dulu, mau berseberangan pun siap berbicara.

 

Didukung partai dengan pandangan politik tidak moderat itu masalah?

Kalau kami berdua ditugasi untuk menang, konsentrasi kami adalah urusan Jakarta. Dengan pihak mana pun, pegangannya konstitusi. Aspirasi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan konstitusi akan kami jawab "tidak" dong. Gubernur harus bekerja scsuai dengan konstitusi, akal sehat, dan kepentingan publik.

 

Organiasi seperti Front Pembela Islam akan ditindak jika Anda Jadi gubernur?

Kebebasan berserikat dan berkumpul harus dilindungi. Tapi, begitu melakukan kekerasan, tangkap.

 

Anda dituduh menyerang Ahok setelah dia berbicara tentang AI-Maidah ayat 51....

Di mana ya letak serangan saya? Saya hanya menyayangkan. Itu yang menarik, kebanyakan dari kita tidak membaca teksnya, tapi membaca tafsirnya. Sebagaimana sebagian tidak membaca kata-kata Ahok, tapi membaca tafsirnya. Nah, kalau baca di situ, menurut saya, pemyataan Ahok tidak tepat. Saya tidak bicara benar dan salah, karena benar dan salah itu soal nilai dan fakta.

Mengapa saya menyayangkan? Kita semua bekerja habis-habisan menjaga agar tidak jadi kebakaran. Kita ini, seperti juga di seluruh dunia, dalam perjalanan masuk musim kemarau. Mudah konflik, mudah terbakar. Jadi, ada satu puntung rokok saja yang jatuh, hutan jadi terbakar.

 

Pernyataan Ahok di Pulau Seribu itu ibarat puntung?

Ya. Artinya, pemancing itu yang harus diingatkan. Menjaga itu harus bareng-bareng, sama-sama. Jangan sebagian. Kata-kata itu lebih tajam daripada senjata. Kata-kata dianggap enggak penting akhir-akhir ini. Seakan-akan ada yang boleh ngomong apa saja.

 

Kinerja Ahoh banyak dipuji. Kalau Jadi gubemur, apa yang akan Anda lakukan?

Kartu tanda penduduk setengah hari selesai. Sungai bersih, kemudian pelayanan publik langsung baik. Tapi, coba lihat, ketimpangan luar biasa. Ketimpangan ekonomi. Kemiskinan luar biasa. Kelompok kelas menengah terlayani dengan baik, tapi ada problem pada warga Jakarta secara umum. Masalah nomor satu di Jakarta adalah lapangan pekerjaan. Lalu kebutuhan pokok yang harganya tinggi. Yang dibutuhkan Jakarta adalah gubernur yang datang dengan solusi berdasarkan keadilan.

 

Contohnya?

Misalnya relokasi, penggusuran. Apakah penggusuran itu selalu untuk kepentingan warga? Atau ada kepentingan publik yang tidak seimbang? Publik mana yang diuntungkan dan dirugikan. Kalau ada apartemen besar, ada jalan, lalu permukiman kumuh dikosongkan untuk area hijau supaya akses apartemennya bagus, ini untuk kepentingan siapa?

 

Kalau masuk ke kasus, penggusuran di Ciliwung, Kampung Pulo, dan Bukit Duri itu seharusnya bagaimana?

Pertimbangannya satu: keadilan. Kepentingan publik seperti apa dan solusi untuk mereka yang dipindahkan itu apa? Soal daerah aliran sungai jelas berbeda dengan lahan yang akan dihijaukan untuk jalur sebuah kompleks. Saya garis bawahi, saya enggak mau berjanji kelak tidak ada relokasi. Enggak mungkin, tuh. Tapi, kalaupun ada relokasi, solusi pindahnya itu harus memberi mereka akses penghidupan, akses fasilitas kesehatan dan pendidikan. Bagaimana mengubah konsep rumah itu tidak individualistis, tapi community base. Sebab, begitu mereka masuk ke SMU kompleks rumah susun, mendadak pola interaksi berubah sama sekali. Padahal mereka adalah masyarakat yang terbiasa dalam satu komunitas.

Jangan semata-mata memindahkan orang karena jumlahnya sekian ketempat yang cukup menampung. Nelayan jadi jauh sekali dari tempat mereka melaut. Itu harus dipikirkan. Saya tahu itu bukan persoalan sederhana. Tapi, kalau kita membangun partisipasi publik dalam membereskan masalah ini, bisa diselesaikan.

 

Gubernur sekarang tidak melakukannya?

Para pegiat masalah urban di Jakarta pernah enggak diajak merencanakan bersama-sama? Enggak pernah, tuh. Pernah enggak didiskusikan? Enggak, kan? Jadi pemerintah jalan sendiri, merumuskan masalahnya, mencari solusinya, sementara warga itu posisinya di luar. Kami berpandangan, ke depan itu harus dibalik. Warga dengan pemerintah itu harus berkolaborasi. Jadi, ketika menyusun perencanaan dan lainnya mendapatkan multipIe input.

 

Bagaimana Anda menilai reklamasi, yang di DPRD didukung politikus-politikus Gerindra?

Saya melihat, bicara debat enggak apa-apa.

Sandiaga: Buka semua, libatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kita tunggu hasil Badan Perencanaan Pembangunan Nasional , bagaimana kajiannya Oktober ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga Bu Susi Pudjiastuti punya posisi sendiri.

 

Berani enggak berbenturan?

Kalau urusan nyali, jangan diukur dari lantangnya suara, tapi berani mengambil keputusan. Kalau mau lihat nyali jangan lihat ke depan, lihat track record saja. Sewaktu Tempo tahun 1994 dibredel, saya enggak mundur tuh ketika tentara masuk. Kalau yakin, kita hadapi, kok.

Apa sih pertahanan paling kuat gubernur dari kepentingan macem-macem? Transparansi. Begitu ada transparansi, kewarasan publik pasti ada di pihak kita.

 

Kalau jadi gubernur, bakal ada staf khusus yang dibayari pengusaha enggak?

Ini maksudnya Sunny (Sunny Tanuwidjaja, anggota staf Ahok)? Enggaklah. Saat saya bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, semuanya pakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Semua orang yang bekerja membantu kami. Tidak ada yang terima uang dari pihak non-APBN.

 

Apa konsep Anda mengatasi problem banjir dan kemacetan?

Saya bicara pendekatan dulu. Yang hendak kami lakukan adalah gerakan. Membangun Jakarta sebagai sebuah gerakan, apa konsekuensinya? Setiap kali ada masalah, pembicaraan mencari solusinya adaIah antara negara dan publik. Jadi keterlibatannya langsung.

Soal pengelolaan banjir, ini sebetulnya mengelola air. Tapi, kalau berbicara soal pembersihan gorong-gorong, itu semua jadi wilayah pemerintah daerah. Kita maunya tahu beres saja. Itu akan terus. Saya dan Sandi tidak akan menghentikan yang sudah jalan dengan baik. Tapi pendekatannya akan berbeda.

Semua detail program kami disusun dengan pendekatan gerakan. Jadi ada ruang partisipasi publik. Saya malah membayangkan Jakarta menjadi kota ekspresi budaya, kota yang punya sejarah. Sekarang ini, kalau lihat Jakarta, seakan-akan Jakarta dibangun di tanah kosong yang tidak punya masa lalu. Sejarah kota ini panjang.

Ruang ekspresi untuk publik juga terbatas sekali. Kita membayangkan infrastrukftur yang ada menjadi tempat ekspresi publik. Lalu pedagang kaki lima, kalau ditata, warung mereka akan menjadi artwork. Jadi mengelola kota itu pendekatan yang ada nuansa budaya, manusiawi, dalam semua aspek.

Jangan membayangkan membangun Jakarta itu membangun kotanya. Membangun Jakarta adalah membangun masyarakat di Kota Jakarta.

 

Itu tidak dilakukan pemerintah sekarang?

Sebagian sudah.

 

Ahok sudah membuat mural di ruang publik dengan dana tanggung jawab sosial parusahaan(CSR)....

Itu salah satu masalah yang kami obrolin. Bagaimana dana dari swasta langsung masuk ke pemerintah.

Sandiaga: Ada yang tercederai. Karena saya terlibat dalam dunia usaha, CSR itu tidak ada yang murni. Pasti ada kepentingan, minimal promosi. Tapi ada lagi yang jauh dari promo, yaitu kepentingan. Jadi, menurut saya, CSR harus dikelola dengan partisipasi publik agar transparan.

 

Ngomong-ngomong, mengapa Anda diberhentikan jadi menteri?

Saya enggak tanya, jadi saya enggak tahu jawabnya, ha-ha-ha....

 

Kinerja?

Pak Presiden itu berdisiplin. Kalau ada masalah, dipanggil atau dibuat rapat terbatas. Misalnya, masalah daging dibuat rapat terbatas. Masalah tol juga dibuat ratas. Dua tahun ini, kalau tidak salah, sudah 200 kali ratas. Pernahkah ada masalah pendidikan dibawa ke ratas? Tidak. Berarti enggak ada masalah. Kan, begitu logikanya.

Lalu dikaitkan dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Semua yang melihat KIP secara detail pasti akan tahu bahwa pada 2015 kita itu mendistribusikan uang dan manfaatnya. Satu-satunya provinsi yang tidak mau menerima KIP adalah Jakarta.

 

Mencapal target?

Target kami 17,9 juta anak. Alhamdulillah, yang terjangkau 19,1 juta. Jadi malah di atas target tahun 2015 diseluruh Indonesia.

Pada 2016, kita mulai menggunakan kartunya. Kenapa baru mulai? Karena harus menggunakan data terbaru. Bayangkan, sensus Badan Pusat Statistik terakhir 2011. Kalau kita pakai data 2011, anak kelas V pada 2011 itu sekarang sudah di sekolah menengah atas dan sudah ganti. Ini enggak bisa. Ini berbeda dengan Kartu Indonesia Sehat yang diberikan ke orang permanen yang umumnya tua dan tidak pindah-pindah, sehingga menggunakan data 2011 masih aman.

Cash transfer itu harus menggunakan data yang benar, dan ini sudah saya sampaikan ke Presiden. Surveinya selesai Desember, dibersihkan datanya Februari. Maret atau April ada rapat khusus, BPS mempresentasikan hasil data mereka. Data itu yang kami pakai untuk mencetak.

 

Mengapa ada kelebihan tunjangan profesi guru Rp 23 triliun?

Top itu. Ini menarik. Bayangkan, bulan Mei itu kami panggil Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Kami bilang kenapa transfer ke pemda untuk tunjangan profesi guru besar sekali. Padahal data Kementerian Pendidikan angkanya tidak sebesar itu. Banyak guru yang sudah pensiun, dimutasi, dan dirotasi. Jadi kami mengatakan, "Anda itu kelebihan transfer Rp 23 triliun."

 

Artinya sudah ada pertanyaan?

Jadi Kementerian Pendidikan mengirim surat ke Kementerian Keuangan. Lalu Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah membuat surat ke semua pemda.

Kalimat pembukanya, atas surat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kami memangkas Rp 23 triliun. Saya ada suratnya. Jadi, kalau Basuki menyelamatkan Rp 12 triliun di Jakarta, saya menyelamatkan Rp 23 triliun di Indonesia.

 

Presiden takut kalah populer jika Anda maju pada 2019?

Presiden sudah sangat populer. Masak, saya bisa ngalahin? Punya partai saya juga enggak. Enggaklah, saya enggak mau berspekulasi soal itu.

 

Jadi pada 2019 Anda enggak bakal nyapres, ya?

Saya kemarin ditanya begitu daiam pertemuan legislatif Gerindra. Saya jawab bahwa yang mencalonkan saya menjadi gubernur adalah PKS dan Gerindra. Jadi ya akan saya tuntaskan lima tahun di tempat ini. Jadi, kalau maju 2019, enggak mungkin dari partai Iain.

 

Meski menyatakan netral, Presiden mungkin memilih preferensi pada satu calon....

Saya percaya Presiden akan netral. Bahaya sekali kalau statemen dan perbuatannya berbeda. Republik ini bisa terancam kalau statemen dengan perbuatan berbeda. Jakarta ini terlalu kecil untuk tidak menjalankan yang dikatakan.

 

Ini harapan, kan?

Menurut saya, Presiden dan semua aparat mempunyai tanggung jawab moral.

 

Ada beban, dulu anggota kabinet dan kini mungkin berhadapan dengan Presiden Jokowi?

Yang memberhentikan dan diberhentikan siapa? Jangan dibalik. Saya yang dicukupkan tugasnya, lalu menjadj warganegara biasa. Artinya, saya terbebas dari semuanya.

 

Sumber: Majalah Tempo 23 Oktober 2016