JJ Rizal: Bung Karno Contohkan Penggusuran yang Beradab

DKI Jakarta sebagai ibu kota negara semestinya menjadi panutan bagi kota-kota lainnya di Indonesia.

DKI Jakarta sebagai ibu kota negara semestinya menjadi panutan bagi kota-kota lainnya di Indonesia. Bukan hanya dari segi pembangunan fasilitas dan infrastruktur kotanya, tetapi juga dalam segi pemerintahan dan manusia yang hidup di dalamnya.

Seperti yang dapat kita lihat Jakarta masih menemui banyak permasalahan. Sebut saja, mulai dari urbanisasi besar-besaran, banjir, tingginya angka pengangguran yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjan, tingginya angka kemiskinan, rendahnya angka pendidikan, hingga menciptakan ketimpangan antara si kaya dan si miskin.

Namun, kini di Jakarta terdapat permasalahan yang tidak kalah pentingnya dengan permasalahan-permasalahan di atas, yaitu penggusuran yang tidak beradab. Tidak dapat kita pungkiri, penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI selama dua tahun terakhir telah mengorbankan ribuan rakyat kecil.

"Orang-orang yang hampir tidak memiliki apa pun dari sedikit yang mereka punyai, justru diusir dan digusur, " keluh cendekiawan, Frans Magnis Suseno.

Sementara si miskin kian tertindas, si kaya kian nyaman hidup di ibu kota. Beratapkan rumah mewah, menyusuri jalanan dengan mobil mewah yang mungkin hanya sebatas mimpi bagi si miskin.

Berdasarkan laporan LBH Jakarta, Pemprov DKI selama tahun 2015 telah melakukan 113 kali penggusuran dan setidaknya 70% penggusuran dilakukan sepihak dan tanpa solusi yang sepadan.

“Kita punya tanah sepetak, direbut, udah direbut dikatain maling, bagaimana rasanya?” ujar JJ Rizal di sela-sela acara Netizen Gathering #7 yang diselenggarakan oleh Relawan Anies-Sandi, di Jakarta Selatan (7/1/17).

Sejarawan JJ Rizal berpendapat bahwa penggusuran besar-besaran yang dilakukan Pemprov Jakarta dilakukan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan kata lain ilegal. “Apabila ada yang bertanya apakah penggusuran di pesisir itu legal atau tidak, itu ilegal. Banyak pasal yang dilanggar. Daerah pesisir Jakarta merupakan pusat orientasi peradaban Betawi dan di sana menyimpan banyak sejarah asal usul Kota Jakarta, kini sudah diratakan oleh tanah,” jelas JJ Rizal.

Dengan dalih penertiban dan normalisasi (penambahan Ruang Terbuka Hijau, pembuatan waduk atau sungai), Pemprov Jakarta seakan menghalalkan segala cara untuk melancarkan penggusuran. Apakah demi kehidupan yang lebih layak berarti kita dapat menghalalkan segala cara?

“Lalu jika penggusuran memang benar-benar dibutuhkan demi penataan kota Jakarta yang lebih baik, lakukanlah dengan cara yang beradab, lakukanlah dengan cara Bung Karno,” kata JJ ketika memaparkan sejarah penggusuran yang ada di Jakarta.

Pada tahun 1960, Presiden pertama Indonesia, Soekarno, memulai pembangunan kompleks olahraga yang kini kita ketahui sebagai Gelora Bung Karno (GBK). Berlokasi di kawasan Senayan, Jakarta. Stadion ini sebelumnya merupakan perkampungan yang dimana penduduknya merupakan warga Betawi asli.

“Bung Karno memberikan contoh penggusuran yang beradab ketika ingin menggusur kawasan Senayan untuk dijadikan stadion. Soekarno mengawali mencari jago-jago atau pentolan (tokoh) di Kampung Senayan dan Kampung Kebon Baru,” Rizal mengawali certianya.

Tidak seperti penggusuran yang terjadi di Jakarta kini, Soekarno mendatangi warga dan tokoh setempat untuk mengadakan dialog terbuka untuk mencari solusi yang terbaik bagi kedua pihak.

“Akhirnya Soekarno bertemu dengan Haji Muntaco, bapak dari Firman Muntaco (Sastrawan Betawi penulis Gambang Djakarte) untuk menyampaikan maksudnya dan berdialog. Bayangkan, seorang Bung Karno, pemimpin besar revolusi, datang langsung dan ngobrol, berdiskusi tentang cara bagaimana menggusur yang baik,” lanjut Rizal.

“Dalam pertemuan itu diputuskan bukan hanya tanah warga yang diganti untung, bahkan pohon-pohon serta buahnya (yang dimiliki warga) diganti dengan harga yang juga disepakati sebelumnya. Kemudian disediakanlah tempat pemukiman baru di daerah Tebet. Dan di Tebet, nama kampung, sampai nama gang di Kampung Senayan dan Kampung Kebon Baru itu di samakan,” jelasnya kepada Netizen.

Penggusuran Kampung Senayan, Kampung Kebon dan wilayah-wilayah di sekitarnya untuk membangun GBK tidak diwarnai dengan protes warga dan kerusuhan seperti yang terjadi di masa sekarang. Kehadiran Presiden Soekarno untuk bernegosiasi langsung dengan warga dan tokoh Betawi saat itu menjadi pertimbangannya. Dengan dialog dan diskusi yang dilakukan antara pemimpin dan warganya, sudah sama-sama mendapatkan titik temu, sehingga warga rela digusur dan rela untuk ditempatkan di pemukinan yang baru.

“Penggusuran itu bukan cuma menghilangkan kampung, tapi juga menghilangkan manusianya. Kampung itulah ruang hidupannya,” kata Rizal.

Mencontoh penggusuran beradab yang dilakukan Presiden Soekarno, seharusnya Pemprov Jakarta dapat belajar bagaimana berkomunikasi dengan warga sebagai pelayan masyarakat. Bagaimana menangani dan memberi pengertian kepada warga yang protes karena tidak ingin rumahnya digusur. Bukan malah memperkeruh keadaan dengan menempatkan Polisi, TNI, hingga SatPol PP yang justru memicu kerusuhan karena warga merasa diusir.